Dibawakan oleh empat penari laki-laki yang dirias menyerupai penari perempuan yang diiringi dengan musik gamelan, tarian ini mampu menarik perhatian pengunjung PKB. Bahkan, Kalangan Ayodya dipenuhi para penonton yang rindu akan tarian sakral tersebut.
Kendati demikian, penggarap tari, Ni Wayan Sueni tetap mengaku was-was akan penampilan pertama anak asuhnya. “Ini saya agak ketug-ketug (berdebar), karena kan anak-anak juga pada baru menarikan gandrung, takutnya gimana kan berhadapan dengan penonton, meskipun mereka menggunakan payasan penari wanita,” tandas Sueni saat ditemui dibelakang Kalangan Ayodya saat pementasan sedang berlangsung.
Sueni mengatakan, Tari Gandrung sebenarnya bukan hal yang baru di Kabupaten Klungkung. Kemunculannya diketahui sekitar tahun 1934. Tari Gandrung merupakan sebuah tari pergaulan yang dilakukan oleh penari laki-laki yang diilustrasikan sebagai perlambang kesuburan dan keselamatan.
Tarian ini dipakai sebagai kaul atau naur sesangi saat masyarakat diserang wabah penyakit cangkrim. Gandrung pun merupakan tarian yang sakral, pementasannya saat itu dipuput oleh Ida Pedanda dari Gria Pidada Klungkung.
Seiring berjalannya waktu, dikatakan tari pergaulan ini berjaya di Kabupaten Klungkung pada tahun 1970-an sampai memasuki tahun 1990-an. Bahkan di tengah-tengah masa kejayaannya, pada tahun 1987 muncul Sekaa Gandrung Smara Ratih.
Kendati demikian, setelah mengalami masa kejayaan, Tari Gandrung di Klungkung pun mengalami kemerosotan regenerasi hingga vakum selama bertahun-tahun. “Saya tak dapat memestikan berapa lama vakumnya, namun yang pasti sudah bertahun-tahun tarian ini tidak pernah dipentaskan lagi,” ujarnya.
Tidak menggeliatnya Tarian Gandrung di Klungkung, menurut Sueni dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, karena para seniman yang mengetahui tari dan tabuh Gandrung sudah meninggal dan tua-tua, sehingga tidak ada regenerasi, karena tidak diberikan pada kaum muda. Kedua, penari kadang enggan dan tidak mau diajak latihan.
Oleh karena itu, pada kesempatan PKB ke-41 ini, Sanggar Smara Ratih mencoba kembali membangkitkan Tarian Gandrungnya tersebut. Hal ini pun atas inisiatif dari salah satu seniman senior yang sudah tua untuk merintis dan mengingat kembali Gandrung Tabuh yang lama.
Meski di tengah keterbatasan, Sekaa Gandrung Smara Ratih dan para warga Banjar Pande turut saling bersinergi. Sueni mengaku, meskipun tarian Gandrung termasuk tarian sakral, penampilannya kali ini bukanlah yang disakralkan.
Biasanya, sebelum menarikan Tari Gandrung, penari harus melakukan pantangan dan juga pemilihan penari yang berpijak dari ritual. “Karena saya belum bisa dan juga para penari berani, jadi saya membawa konsep pelegongan, hanya untuk menghibur masyarakat,” ucap Sueni.
Kendati demikian, Sueni tetap berpijak pada pakem Tari Gandrung terdahulu. “Jadi dulu itu ada satu jenis gerakan saja, tapi sekarang saya variasikan, dan komposisi penari tetap seperti dahulu, empat orang penari laki-laki yang diawali dengan tarian Gandrung Pengendag dan ada ngibingnya,” paparnya.
Kadek Dodi Junia Putra (16), salah satu pemuda Banjar Pande yang ditunjuk sebagai penari Gandrung pun mengaku harus melakukan berbagai adaptasi. Apalagi, ini merupakan kali pertama ia menarikan Tari Gandrung. “Biasanya kan saya menarikan tarian cowok, tapi sekarang cewek ya harus lemuh dan mencoba gerakan-gerakan lain,” ungkap Kadek yang sudah dihias bak penari wanita. (Winatha/balipost)
Sumber : Bali post